Sudahkah anda berbuat baik hari ini....

Rabu, 09 Mei 2012

Menjadi Pengusaha Itu Sunnah, Tapi Tangan Di Atas Wajib

Characterpreneur, adalah singkatan yang berasal dari 2 suku kata yaitucharacter dan enterpreneur. Character, menurut kamus Poerwadarminta adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan , akhlak ataupun budi pekerti yang mencirikan seseorang.. Secara bahasa, pengertian enterpreneur secara umum adalah seseorang yang menciptakan sebuah bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian untuk mencapai keuntungan dan pertumbuhan. Secara sempit enterpreneur dipandang adalah seorang pedagang (businessman). Namun pengertian/pendapat Joseph Schumpeter dipakai oleh banyak kalangan luas. Yaitu, seorang enterpreneur tidak selalu pedagang atau seorang manager; ia adalah orang yang unik yang berpembawaan pengambil resiko dan yang memperkenalkan produk-produk inovatif dan teknologi baru ke dalam perekenomian. Selain konteks bisnis, kita juga mengenal yang namanya social enterpreneur.Social enterpreneur, dimotivasi oleh keinginan untuk membantu, meningkatkan dan mengubah lingkungan sosial Secara bebas, menurut saya pengertian character-enterprener, selanjutnya disingkat menjadi characterpreneur adalah seseorang atau kelompok yang mengadakan usaha inovatif yang mempunyai karakter atau watak khusus yang mulia, yang memberikan manfaat perubahaan pada lingkungan atau masyarakatnya. Pengusaha yang Berkarakter Mengutip ucapan Nietzsche, “Seni demi seni, ilmu demi ilmu atau puisi demi puisi adalah kedok yang digunakan untuk menutupi watak jahat seniman atau ilmuwan serta memberikan pembenaran atas sikapnya dalam menghindari tanggungjawab sosial.” Kalau saya perluas, “Bisnis demi bisnis adalah kedok jahat yang digunakan oleh pengusaha untuk menutupi sifat jahatnya serta memberikan pembenaran atas sikapnya mencari untung dan menghindari tangungjawab sosial.” Kalimat di atas memang sedikit keras, tapi hal ini perlu dijelaskan. Karena dalam hidup ini tidak ada yang namanya bebas nilai. Ada kaidah lain yang melekat pada bisnis. Sebab pada sebuah realitas ada motif di belakang penciptaannya. Ekonomi sebagai sebuah ilmu, adalah suatu cabang dari filsafat; sebagai sebuah pencarian manusia atas realitas, lingkungan, penciptaan sesuatu, dan atas “Sesuatu” yang melingkupi segala sesuatu. Ketika agama datang, sesungguhnya pada prinsipnya filsafat telah selesai. Terjawab sudah pertanyaan mendasar manusia. Para Rasul datang membawa nilai yang melengkapi semua persoalan manusia, memberi nilai atas semua tindak, dan sifat atau karakter manusia. Tidak semata tata ibadah syariah belaka tapi termasuk nilai hidup dalam bermasyarakat dan berdagang dibawanya. Kegiatan ekonomi atau perdagangan telah ada sebelum zaman kenabian terakhir. Sudah tentu masyarakat zaman itu telah punya karakter atau akhlaknya sendiri. Lalu Nabi Saw yang berlatar pedagang datang membawa misi untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Contoh terbaik adalah para Nabi dan Sahabat Nabi. Hampir semua Nabi dan sahabatnya adalah para pedagang. Mereka telah menyontohkan adab dan akhlak berdagang. Tidak semata mencari keuntungan, tapi juga membangun sosial kemasyarakatan. Ada kaidah-kaidah yang dibawa mereka. Menjadi seorang pengusaha tidaklah semata memikirkan untung-rugi belaka yang hanya dihitung secara matematis ekonomi. Dia haruslah menghitung juga secara matematis sosial. Setiap barang yang diproduksi, tidak dipikirkan semata mencari untung, tapi adakah akibat negatif pada masyarakat yang ditimbulkannya? Pada setiap produk yang dijual, adakah racun atau candu di dalamnya? Pada setiap media yang dikeluarkannya, adakah berdampak pada kerusakan generasi? Mudah saja mengimpor produk luar dengan harga murah, banyak untung yang akan didapat. Tapi tak terpikirkah bahwa ada sekian banyak petani, nelayan dan pedagang lokal yang akan terkapar kalah? Produksi saja konten yang mengikut selera dasar primitif manusia, tapi terpikirkah bahwa sama saja kita telah merusak sekian generasi? Pada hari ini kita gampang saja menemukan banyak pengusaha yang sukses dengan bisnisnya. Banyak orang kaya atau konglemerat yang muncul. Sebagai seorang pengusaha pemula, mudah saja kita menjadikan mereka sebagai idola dan menjadikannya model dalam berusaha. Tapi pernahkah kita secara kritis menilai mereka? Sudahkah usaha yang dijalankannya beretika dan bernilai secara sosial serta apa efek jangka panjang yang ditimbulkannya? Karakter yang mulia haruslah melekat pada diri seorang Pengusaha. Pengusaha yang berkarakter mulia haruslah visioner, idealis, jujur, amanah, tidak semata mencari untung jangka pendek. Dia tidaklah semata mengikut kepada selera pasar. Kalau perlu dia membentuk pasar (social engineering). Pengusaha yang mulia tidaklah menjadikan manusia sebagai obyek pencari keuntungan. Ia mempunyai misi dalam hidupnya. Bisnis tidaklah bebas nilai, ia haruslah berpegang pada landasan moral etika. Tidak berprinsp sekuler dalam bisnis. Memisahkan kegiatan ekonomi dari moral-etika, dan lupa pada efek sosial dan kebudayaan. Tangan Di Atas Sebagai Sebuah Ideologi, eh Gerakan Perubahan Nabi Muhammad Saw pernah menyatakan bahwa, “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.” Terinspirasi oleh hadis ini tercetuslah sebuah komunitas yang bernama Tangan Di Atas (TDA), sebagai sebuah kelompok yang senang berbagi dan berbagi senang dengan memilih berwirausaha sebagai aktivitas para anggotanya. Menyambung dengan hadis Nabi Saw yang lainnya, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”. TDA mendefinisikan caranya sendiri menjadi manfaat bagi sesama dengan cara berwirausaha. TDA didirikan oleh para anak muda atau orang-orang yang berjiwa muda, lahir sebagai bentuk perjuangan dan penyelamatan bangsa. Ciri khas orang muda adalah anti kemapanan dan dinamis. TDA mendefinisikan caranya sendiri melakukan perubahan melalui gerakan ekonomi atau perdagangan. Sebab, kemajuan suatu bangsa sudah tentu ditandai oleh kemakmuran ekonominya. Semenjak dibentuk tahun 2006 dari puluhan anggota sekarang komunitas ini telah mencapai ribuan anggota yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan mancanegara. TDA telah menjadi kosa kata baru dalam bahasa Indonesia, yang menggambarkan kaum wirausaha (pedagang), lawan dari kata TDB (Tangan Di Bawah) yang diartikan orang yang masih bekerja (karyawan). TDA itu adalah sebuah gerakan diam (silent movement). Tanpa gembar-gembor, gegap-gempita berita. Di saat para politisi dan aktivis ramai di media lantang bicara tentang bagaimana mengubah Indonesia, TDA bergerak dengan caranya sendiri tanpa demonstrasi. Kecuali hanya satu kali demo TDA—yang saya ingatJ, ketika melakukan demo di Bundaran HI dua tahun lalu sebagai bentuk sosialisasi Pesta Wirausaha atau Milad TDA yang ke 4J Banyak orang hanya bicara, tapi TDA telah bekerja! Banyak orang memandang bahwa perubahan dunia hanya ditentukan dan direkayasa oleh kekuatan politik belaka. Tapi sesungguhnya ada kekuatan ekonomi di belakangnya. Politik dan ekonomi sebagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Pada sejarah perubahan dunia kita melihat bahwa sejatinya ada gerakan ekonomi yang berperan, baik dengan cara baik maupun jahat atau kasar. Pergulatan inilah yang telah melahirkan berbagai macam ideologi, dari kapitalisme—mulai dari klasik sampai kapitalisme moderen yang humanis, sosialisme, sampai marxisme. Bung Karno mendefinisikan kejayaan Indonesia itu dengan istilah Tri Sakti, yaitu: Berdaulat di bidang politik, kemandirian di bidang ekonomi, dan berkerpribadian di bidang budaya. Bung Hatta malah menekankan pentingnya membangun kekuatan ekonomi kerakyatan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. Beberapa tahun terakhir ini, kita melihat banyak fenomena menarik di negeri ini. Wirausaha telah menjadi profesi baru yang sangat menarik. Jika dahulu berdagang dipandang sebagai sebuah pelarian, bentuk kegagalan dari seseorang yang tidak diterima bekerja di kantoran. Atau berdagang adalah profesi para perantau yang mencari penghidupan yang mana tidak bisa mengandalkan ijasahnya. Berdagang juga kebanyakan dijalankan oleh para orangtua. Sekarang bisnis atau berwirausaha telah menjadi tren, sebuah gaya hidup baru. Ditampilkan di panggung-panggung, dikonteskan, diberi piala dan penghargaan. Pelakunya banyak para anak muda. Kita juga melihat betapa kegiatan wirausaha telah menjadi penyokong penyelamat bangsa ini dari krisis. Beberapa negara tumbang oleh resesi politik dan ekonomi, tapi bangsa ini masih berdiri. Berbeda dengan era sebelumnya, sedikit krisis politik maka guncanglah negeri ini. Tapi sekarang, politik dan pemimpin boleh berganti, tapi ekonomi jalan terus! Sekarang pertanyaannya, politik atau ekonomikah yang telah menyelamatkan negeri ini? Di zaman Orde Baru barangkali banyak yang alergi ketika disebut kata “ideologi”. Tapi mari kita sederhanakan saja, ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang sesuatu, menawarkan perubahan untuk kemakmuran masyarakat (weltanschauung). Lalu bagaimana dengan TDA? Bukankah di dalamnya ada kumpulan ide? Tentang bagaimana membentuk masyarakat yang sejahtera? Kekurangannya, barangkali ide TDA ini belum tersusun sebagai sebuah konsep pemikiran yang utuh dan sistematis. Baru dalam tataran idealis, belum diturunkan ke dalam bentuk materialistik (ini menurut istilah filsafat. Sedikit berat ya istilahnya… ) Saya tak mau berdebat soal ideologi. Nanti akan banyak pula yang mengejar saya dengan cara pandang ini. Anggap saja cerita ini hanya ngalor-ngidulkegenitan intelektual. Tapi mari kita pandang saja bahwa Tangan Di Atas adalah sebagai sebuah gerakan perubahan. Ia menawarkan harapan. Misi yang dibawanya adalah “bersama menebar rahmat!” Menjadi Pengusaha itu Sunnah, Tapi Tangan Di Atas Wajib Ya, saya katakan bahwa menjadi Pengusaha itu adalah sunnah karena ia adalah profesi dan jalan hidup nabi. Sebagai umatnya sudah tentu kita akan meniru teladan dari nabi. Sunnah, itu baik dan menjadi pahala ketika dilakukan tapi tidak menjadi dosa kalau tidak dijalankan. Boleh saja seseorang tidak memilih menjadi pengusaha sebagai jalan hidupnya. Tapi menjadi Tangan Di Atas hukumnya adalah wajib, berdosa jika tidak menjalankannyaJ Apa makna menjadi Tangan Di Atas? Ialah menjadi rahmat bagi semesta alam. Sebaik-baik manusia adalah yang menjadi manfaat bagi orang lain. Ia membawa harapan, bukan musibah bagi sesamanya. Sesuai dengan tugas manusia sebagai khalifah di atas bumi, ia membawa sifat-sifat Tuhan pada dunia ini, yaitu menyebarkan rahmat. Prinsip Tangan Di Atas itu adalah, memberi dahulu baru menerima (give and receive). Characterpreneur = Tangan Di Atas Semua penjelasan yang saya sampaikan di atas adalah sebagai sebuah pengantar untuk sampai pada sebuah kesimpulan: character-enterpreneur atau Pengusaha yang berkarakter itu adalah Tangan Di Atas. Sebagai sebuah kosa kata baru, Tangan Di Atas (TDA) ini menjelaskan banyak hal. Menjadi pengusaha itu tidaklah bebas nilai, tiada sekularisme dalam bisnis, memisahkan bisnis demi bisnis. Ia haruslah menjadi penyebar rahmat. Pembawa kebaikan pada lingkungan sosialnya. TDA itu senang berbagi. Sebaik-sebaik manusia adalah yang bermanfaat bagi lingkungannya. Dan, cara yang dipilih oleh TDA untuk menjadi manfaat bagi sesama adalah dengan menjadi Pengusaha. Dengan menjadi Tangan Di Atas. Jadi, TDA itu artinya sama dengan Pengusaha, tapi Pengusaha belum tentu sama dengan TDA. TDA itu sama dengan character-enterpreneur. Yaitu, Pengusaha yang berkarakter. Yang sukses tidak hanya semata untuk dirinya sendiri, tapi juga bermanfaat bagi umat. Inilah yang disebut dengan sukses-mulia, yaitu yang menebar rahmat! Pada akhirnya, saya tutup tulisan ini dengan memodifikasi ucapannya Bung Karno, “Seribu orangtua hanya bisa bermimpi tapi seorang Pengusaha bisa mengubah dunia!” Ingat, yang saya maksud dengan Pengusaha disini adalah TDA. Bersama TDA mari kita menebar rahmat.

Tidak ada komentar:

"http://i1253.photobucket.com/albums/hh582/acep11/Foto1173.jpg"